Sebagai masyarakat Indonesia, bila mendengar kata “Negeri” pasti
identik dengan murah bahkan gratis. Hal itu memang benar, karena sebagian besar
sesuatu hal yang berstatus Negeri itu berarti milik negara, milik rakyat
Indonesia. Artinya, semua hal ini dibuat untuk masyarakat. Sudah dibuktikan
dengan adanya Rumah Sakit dan sekolah-sekolah yang berstatus Negeri dan tidak
memungut biaya sepeserpun. Layanan ini diberikan semata-mata untuk kesejahteraan
rakyat. Agar rakyat Indonesia mendapatkan kesehatan dan pendidikan dengan
mudah.
Saya adalah seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Negeri
di Jakarta. Perguruan Tinggi yang cukup ternama, Universitas Negeri Jakarta.
Kampus ex-IKIP. Kampus Pendidikan. Kampus Pergerakan Intelektual. Jika
melihat namanya, Universitas Negeri Jakarta yang akrab disebut UNJ ini merupakan
kampus berstatus Negeri, milik negara, milik rakyat. Akan tetapi Kampus Negeri
di sini tidak dekat dengan istilah “gratis”. Kampus Negeri ini menarik biaya
SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) per semesternya. Bukan hanya UNJ, akan
tetapi seluruh Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia memungut biaya SPP, malah
beberapa jauh lebih mahal dari UNJ. Lantas apa yang membedakan Kampus Negeri
dengan Kampus milik Swasta bila Kampus Negeri juga memungut SPP? Karena kampus
Negeri lebih bagus? Jawabannya adalah tidak, banyak sekali Kampus Swasta di
sana yang jauh lebih bagus. Mengapa masyarakat lebih memilih mengenyam pendidikan
di Kampus Negeri daripada Kampus Swasta? Orang-orang berpikir karena Kampus
Negeri jauh lebih murah daripada Kampus Swasta. Padahal tidak juga.
Untuk mengatasi hal ini, beberapa Perguruan Tinggi memang sudah
menerapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai subsidi silang untuk mereka yang
kurang mampu. Penentuan besarnya UKT di sini tergantung dari seberapa besar
penghasilan orang tua pada saat itu. UKT ditentukan pada saat pertama masuk
kuliah, dan nominalnya tidak akan berubah sampai kita lulus. Tetapi menurut
saya penerapan UKT yang bertujuan sebagai subsidi silang ini tidak efektif,
karena jelas-jelas kita semua tahu roda kehidupan itu berputar, kadang kita di
bawah, kadang di atas. Bagaimana bila di kemudian hari salah satu dari kita tak
mampu lagi membayar UKT, sedang UKT bersifat tetap?
Hati terasa teriris bila mengingat kejadian beberapa bulan lalu di
mana salah satu teman kami ada yang tak mampu lagi membayar UKT. Mengajukan
diri membuat permohonan penurunan UKT, tetapi ditolak dengan tegas. Malahan
disarankan untuk mengundurkan diri sebagai mahasiswa aktif. Teman kami hanya
meminta agar nominal UKT-nya diturunkan, bukan meminta digratiskan. Apakah ini
yang dinamakan Kampus Negeri? Uang Kuliah Tunggal atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan
apa hanya untuk pengembangan sarana dan prasarana kampus? Kemudian membiarkan
mahasiswanya putus kuliah karena tak mampu membayar SPP.
Disinilah peran teman, peran mahasiswa yang memiliki kepekaan
sosial, membantu teman yang mengalami kesusahan, termasuk kesulitan UKT.
Tentunya bila dalam situasi seperti ini bantuan yang sangat diharapkan berupa
materil, selain itu bantuan moril berupa semangat juga dibutuhkan. Pada situasi
seperti ini pula tim advokasi mahasiswa menjalankan tugasnya yaitu membantu,
membela, melindungi. Termasuk membantu mereka yang kesulitan membayar UKT
melalui program kerja mereka yaitu NADI (Dana Pendidikan) yang dipungut dari
para mahasiswa untuk dihibahkan kepada mereka yang kesulitan membayar UKT. Bila
masalah seperti ini terjadi lagi, saya pun akan mengusulkan kepada Tim Advokasi
Kampus untuk menghibahkan NADI kepada mahasiswa tersebut, dan mengajak
teman-teman menyisihkan uang jajan mereka untuk membantu teman kita yang sedang
kesulitan. Kemudian mengusulkan agar UKT tidak lagi bersifat tetap, dan mendata
ulang penghasilan orangtua seluruh mahasiswa setiap semesternya agar besar UKT
yang harus dibayar tidak memberatkan mahasiswa. Karena bila kita hanya
mengharapkan kebijakan birokrat ataupun pemerintah tanpa ikut membantu, masalah
seperti ini tidak segera terselesaikan. Malah mungkin tidak akan terselesaikan.