Minggu, 10 Januari 2016

Konsistensi



Menjaga konsistensi dalam diri itu emang susah banget. Apalagi buat kalangan remaja. itulah kenapa remaja dekat banget sama kata “labil”, karena pada masa itu remaja sedang mencari jati diri. Sebenernya ini teori, bukan pembelaan kalau bukan gue doang yang labil.

Gue adalah salah satu mahasiswa salah satu kampus yang belakangan ini lagi tenar. Tenar karena masalah internal yang heboh menggemparkan mahasiswa seluruh Indonesia. UNJ. Universitas Negeri Jakarta, Universitas Neraka Jahanam boleh juga sih. Gue sekarang masih semester 1 (maba), tapi seharusnya semester 3 ini karena pindah jurusan. Sebenernya ya gue senior dan dari dulu kepengen banget jadi senior.

Baru di awal aja udah bingung kan, konsistensinya gak terjaga. Awalnya ngomong apa, lanjutannya apa. Kadang suka bingung, apakah gue adalah satu-satunya orang yang gak konsisten? Kenapa ya suka ngerasa kayak orang yang gak punya pendirian. Di umur yang tahun ini jadi kepala dua, dewasa awal itu bukan masanya untuk mencari jati diri, dewasa awal itu masanya kita buat awal berkarier dan memilih pasangan hidup. 

Yang gue bingung, gue ini gak konsistennya hampir dalam segala hal, salah satunya hobi atau kebiasaan. Jadi kalo misalnya ditanya hobinya apa, gue bener-bener bingung, akhirnya malah jadi bohong. Kayak contohnya nih, di awal tahun baru ini gue lagi seneng-senengnya baca artikel tentang pergerakan kampus, akhirnya gue ngerasa termotivasi sebagai mahasiswa seharusnya aktif dan kritis. Ini emang bener-bener hobi yang bagus, amat bagus karena bakalan ngebikin gue jadi yang lebih baik. karena adanya masalah yang lumayan rumit di kampus, hati gue tergerak buat nulis malah kadang orasi di kamar mandi (serius). Nah buat akhir-akhir ini nih gue lagi pengen banget berorganisasi, kumpul sama temen-temen lain kampus biar wawasannya luas.

Pengen juga sih jadi seseorang yang beda. Beda dari yang lain. Jadi pribadi yang smart, unik, menarik. Smart dalam ruang lingkup sosial menurut gue lebih mengarah ke bagaimana orang itu berinteraksi, pinter ngomong. Kelihatan smart kalau kritis kan? Gimana mau kritis, pernah peduli sama lingkungan aja enggak.

Kalo diliat-liat kebanyakan pengennya sih emang. Tapi mana ada sih manusia yang gak pernah “pengen”. Manusia kan diciptakan sedemikian indah, disertai nafsu juga. Semua orang pasti pernah “pengen”, dan kalo  kita gak pernah pengen kita gak akan pernah kenal sama kata maju, karena gak ada keinginan apapun dari diri kita. Nah masalahnya, orang kayak gue ini kepengenan doang tapi usahanya angot-angotan.

Cita-cita aja bisa dibilang gak punya, karena dari tk sampe sekarang cita-citanya selalu berubah. Dokter, polwan, perawat, desainer grafis, sampe atlet (sama sekali gak bisa olahraga) pernah gue cita-citain. Sedangkan jurusan yang gue ambil itu pendidikan IPS. Malah gak pernah kepikiran, dan kepengen buat jadi guru. Orang paling aneh kali ya gue. Gak ada konsistensinya sama sekali.

Kadang suka nulis dan pengen nyiptain tulisan gitu walaupun cerpen paling kagak itu tulisan, kadang suka gambar ya walaupun gambar gue gak cakep tapi paling kagak ada bentuknya, kadang pengen jadi aktifis kayak belakangan ini gara-gara kampus ada masalah. Hidup itu bener-bener ngebingungin ya. Males juga kadang idup. Tapi gue juga belom siap mati.

Btw konsistensinya mana ya? Judul sama isi gak pernah sesuai, karena itulah gue paling gak bisa ngasih judul. Dan gue selalu berharap ini gak ada yang baca. Kenapa dipublish kalo gak mau ada yang baca? Karena kalo cuman disave sama dipublish itu beda rasanya. Kalo abis ngepublish gitu rasanya kayak ngeplong sedikit takut ada yang baca. Tapi kalo cuman disave kayak gak ada rasanya gitu. Lah di sini kesannya suka tantangan ya? Padahal mah.....

Entah ini tulisan, goresan, atau apa terserah cuman abis nulis ini ngerasa ngeplong lega gitu walaupun sedikit. Apakah gue berbakat buat jadi penulis? Terlalu percaya diri kayaknya ya. Terlalu takut buat nyoba, itulah gue. Terlalu mikirin gimana gimana.
Jadi inti dari tulisan ini  apa?

Rabu, 06 Januari 2016

Kekhusyukan dalam Sholat



Khusyuk seperti yang telah kita semua ketahui merupakan sikap yang konsentrasi, fokus sehingga memungkinkan akan menciptakan suasana yang khidmat, dan tenang. Kata khusyuk memang tidak asing lagi bagi masyarakat, karena kata khusyuk kerap kali digunakan sebagai kata ganti konsentrasi ataupun fokus pada suatu kegiatan. Tetapi kata khusyuk paling sering digunakan pada kegiatan keagamaan. Misalnya, Khusyuk Sholat.
Terdapat banyak sekali pengertian mengenai khusyuk. Khusyuk menurut Dr. Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani (2013) adalah kelembutan, tunduk, kepekaan, ketenangan, dan konsentrasi hati di kala terselimuti oleh ketaatan kepada Allah Swt, dan selanjutnya diikuti oleh seluruh anggota tubuh, baik lahir maupun batin.[1]
Sedangkan Zainuddin S. Nainggolan (2014:240) menyatakan, “Khusyuk dalam Sholat dapat diartikan dengan konsentrasi, merendah diri, tunduk, dan patuh secara rohani dan jasmani kepada Allah di kala sholat khususnya dan sesudah sholat.”[2]
Khusyuk dalam sholat seperti ruh dalam tubuh. Tubuh tanpa ruh tidak akan ada artinya, karena bila tidak ada ruhnya maka tubuh menjadi mayat. Khusyuk dalam sholat hukumnya wajib menurut pendapat yang shahih. Seperti yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim bahwa Sholat tanpa kekhusyukan dan fokus kepada Allah Swt tidak akan diterima. Sebab, seorang hamba tidak akan mendapat pahala dari sholatnya, selain dari bagian yang dia pahami.[3] (Imam Ibnul Qayyim)
Lalu bagaimana sholat yang didominasi oleh tidak adanya khusyuk dan tidak memahami makna sholatnya? Abu Abdillah bin Hamid berpendapat,
Maka diwajibkan untuk mengulang sholat sebab sholatnya tidak mendapatkan pahala dan tidak menjamin keberuntungan. Juga karena khusyuk adalah ruh, inti dan tujuan sholat, maka bagaimana mungkin sholat yang kehilangan ruh dan intinya serta hanya tersisa gerakannya saja bisa dihitung?[4]
Dapat dipastikan bahwa khusyuk dalam sholat termasuk dalam kategori mendirikan sholat. Sebab mendirikan sholat tidak dapat dilakukan selain dengan menegakkan syariat-syariatnya, rukun-rukunnya, dan seluruh kewajibannya. Khusyuk menurut pendapat yang benar hukumnya wajib berdasarkan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya Saw. Allah Swt berfirman “Dan dirikanlah shalat”.[5] (QS. Al-Baqarah[2]:43)
Ada banyak keutamaan bila seseorang khusyuk dalam sholatnya, salah satunya adalah seluruh dosanya akan keluar seperti hari pertama ketika ia dilahirkan dari perut ibunya. Amr bin Abasah r.a. menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
Apabila dia berdiri dan sholat, bertahmid kepada Allah Swt, memanjatkan puji-pujian yang memang layak untuk-Nya serta berkonsentrasi penuh dan fokus kepada-Nya, niscaya ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti hari pertama ketika ia dilahirkan dari perut ibunya.[6]
Keutamaan khusyuk dalam sholat yang lain adalah khusyuk menjadi penghapus dosa-dosa sebelumnya. Hal ini berdasarkan hadits Utsman r.a., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Tidakkah seorang muslim yang masuk waktu sholat wajib lalu dia menyempurnakan wudhu, menyempurnakan kekhusukannya, dan menyempurnakan rukuknya, melainkan akan menjadi penghapus dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan itu berlaku seumur hidup.[7]
Seseorang yang khusyuk dalam sholatnya juga mendapat predikat manusia terbaik. Khusyuk kepada Allah Swt yang dibangun atas dasar mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan seluruh kehendak-Nya, takut pada azab-Nya; dibangun di atas kecintaan, takut, dan harapan kepada-Nya, semua ini akan menyebabkan seorang hamba menjadi manusia terbaik. Oleh karena itulah Sufyan rahimahullah mengatakan “Orang yang paling bodoh adalah orang yang meningglkan ilmu yang dikuasainya. Orang yang paling pandai adalah orang yang bekerja sesuai dengan ilmu yang dikuasainya. Orang yang terbaik adalah orang yang paling khusyuk kepada Allah Swt.”[8]
Tidak khusyuk dalam sholat dapat menyebabkan seseorang meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban dalam sholat. Orang yang sholat dengan khusyuk, tidak mungkin mengerjakan sholat dengan terburu-buru atau meninggalkan salah satu rukun atau kewajiban sholat karena dia berkonsentrasi dan merasakan keagungan Allah Swt, takut pada siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.
Allah Swt tidak akan melihat sholatnya seorang hamba yang tidak meluruskan punggungnya antara rukuk dan sujud. Disebutkan dalam hadits Thalq bin Ali al-Hanafi r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan melihat pada sholat seorang hamba yang tidak meluruskan punggungnya dalam rukuk maupun sujudnya.”[9]
Disebutkan dalam Hadits Abu Abdillah al-Asy’ari r.a., ia berkata: Bahwa Rasulullah Saw ketika sedang sholat melihat seorang lelaki tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujudnya, lalu Rasulullah Saw bersabda, “Kalau orang ini meninggal dunia dalam keadaan seperti ini, berarti dia meninggal dunia di luar agama Muhammad.” Kemudian beliau Saw melanjutkan, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujudnya sama seperti orang yang lapar yang makan satu atau dua butir kurma; tidak akan dapat menghilangkan rasa laparnya.”[10]
Seorang yang tidak menyempurnakan sholatnya baik itu tidak menyempurnakan rukuknya dan terburu-buru dalam sujudnya, maka tidak dihitung karena sholat tersebut hanya gerakan saja tanpa kekhusyukan atau inti di dalamnya. Sehingga tanggungannya pun tidak gugur, atau kewajiban sholatnya tidak berkurang.


[1] Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Khusyuk dalam Shalat Menurut A-Qur’an dan As-Sunnah, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2013), hlm. 43.
[2] Zainuddin S. Nainggolan, Inilah Islam: Falsafah dan Hikmah Ke Esaan Allah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2014), hlm. 240.
[3] Ibnul Qayyim, Al-Wabil Ash-Shaib, hlm. 14-15.
[4] Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Khusyuk dalam Shalat Menurut A-Qur’an dan As-Sunnah, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2013), hlm. 52.
[5] QS. Al-Baqarah/2:43.
[6] Muslim, kitab Shalatul Musafirin, bab Islamu ‘Amr bin ‘Abasah, nomor: 832.
[7] Muslim, kitab Ath-Thaharah, bab Fadhlul Wudhu’ Was Shalah ‘Iqbahu, nomor: 228.
[8] Diriwayatkan oleh Ad-Darimi 1/81, nomor. 337.
[9] Ahmad, kitab Al-Musnad 26/211, nomor. 16283.
[10] Thabrani, kitab Al-Mu’jam Al-Kabir 4/115, nomor: 3840.